Sabtu, 08 Mei 2010

PRICE LIST MAZDA KAL-TIM (SAMARINDA)

1. Mazda RX-8 FACELIFT, COUPE SPORT, 1300 ROTARY, ACTIVEMETIC 4X2 RP. 675 Jt
1.Mazda CX-7 GT,JEEP PREMIUM,2.3L TURBO,ACTIVEMETIC 4X2 RP. 635 Jt
2.Mazda CX-7 BASE,JEEP PREMIUM,2.3L TURBO,ACTIVEMETIC 4X2 RP. 570 Jt
1.New Mazda 2 R A/T,HatcBack,1'5L,ACTIVEMETIC 4X2 RP. 220 Jt
2.New Mazda 2 R M/T,HatcBack,1'5L,MANUAL 4X2 RP. 213 Jt
3.New Mazda 2 S A/T,HatcBack,1'5L,ACTIVEMETIC 4X2 RP. 205 Jt
4.New Mazda 2 S M/T,HatcBack,1'5L,MANUAL 4X2 RP. 195 Jt
1. Mazda CX-9 FRESTYLE,JEEP PREMIUM,3,7L,ACTIVEMETIC 4X2 RP. 855 Jt


JENIS PRICE

1.Mazda BT-50 DC Edisi X-MAN, 2.5L Turbo, Manual 4X4 RP. 350 Jt
2.Mazda BT-50 DC Edisi speed, 2.5L Turbo, Manual 4X4 RP. 350 Jt
3.Mazda BT-50 DC High Air BAG (H), 3.0L Turbo, Manual4X4 RP. 373 Jt
4.Mazda BT-50 DC High Air BAG (H), 2.5L Turbo, Manual 4X4 RP. 360 Jt
5.Mazda BT-50 DC Mid, 2.5L Turbo, Manual 4X4 RP. 340 Jt
6.Mazda BT-50 DC STD, 2.5L Turbo, Manual 4X4 RP. 335 Jt
7.Mazda BT-50 DC HI RIDER, 2.5L Turbo, Manual 4X2 RP. 270 Jt
8.Mazda BT-50 DC FRESTYLE, 2.5L Turbo, Manual 4X4 RP. 255 Jt
- model ini sangat cocok di daerah pertambangan dan untuk mobil-mobil perusahaan tambang

*KHUSUS PENJUALAN DI DAERAH KALIMANTAN TIMUR DAN SEKITARNYA KHUSUS WILAYAH SAMARINDA.

HUBUNGI HP. 0857 528 44369
ATAS NAMA : FUAD RACHMAN,
TERIMA KASIH.

Jumat, 07 Mei 2010

Kisah Lucu Pemilu Presiden

Tanggal 5 juli lalu di TPS koe sekitar jam 10 an, ada seorang cewek (yang lumayan cuantik, seksi dan menggairahkan), mau ikutan nyoblos.

Kebetulan siang itu cukup sepi (nggak ngantri kayak pemilihan legislatip). Mungkin karena sepi, jadi perhatian para anggota KPPS tertuju ke cewek ini.

Nah, pas sudah selesai nyoblos, di meja anggota KPPS-7, kebetulan di atas mejanya ada tinta dan kopi. Kebetulan lagi yang jaga posisi KPPS-7 ini cowok gondrong (biar gondrong, tapi kan anggota KPPS...he..he..).

sekian.



Nah, mungkin karena grogi, si cewek tadi bukannya menyelupkan jari manisnya ke tinta, tapi dicelupin ke kopi si gondrong. Terang aja si gondrong senyam senyum.

Mau protes koq nggak pantes (ayu..eee) Nah, waktu si cewek sadar klau salah celup, langsung saja mukanya jadi sedikit merah merona, sambil ngomong...

"Maap pak..eh mas..nggak sengaja..."

Lalu si KPPS-7 langsung memegang jari si cewek untuk dicelupkan ke...tinta (jangan ngeres ya).

Langsung saja suasana yang panas siang itu jadi agak adem panas. Kopinya dibuang? tentu tidak jawab si KPPS-7. Malah rasanya jadi tambah niqmat..he...he...he.. sekian.

Menghilangkan Kerutan di Wajah dengan Photoshop

Menghilangkan Kerutan di Wajah dengan Photoshop


Ini kelebihan photoshop bisa menghilangkan kerutan di wajah..hebat kan? ini berkat tool keren yang nama nya Healing brush tool .. dari namanya juga udah keliatan kok fungsi dari tool tersebut.. Healing = menyembuhkan artinya tool ini untuk memperbaiki atau menyembuhkan sesuatu yang kurang.


Untuk menghilangkan jerawat bisa ga ? Jelas bisa dong.. nanti saya kasih contoh nya ya..


sekarang kita praktek langsung aja ya..


buka foto yang mau dibuat hilang kerutan wajah nya.. saya pake foto Om saya.. Om Sean Connery ..yang udah lumayan banyak kerutannya..


menghilangkan kerut 1


duplikat layer background dengan menekan ctrl + J .. tujuannya buat sebagai pembanding aja.. jadi keliatan perubahannya..


menghilangkan kerut 2


sekarang klik salah satu tool keren di photoshop Healing brush tool.. ukuran brush secukupnya aja..


menghilangkan kerut 3


cara pake nya ..


tekan ALT lalu klik di tempat yang gak ada kerutannya..


menghilangkan kerut 4


kalo udah tombol ALT nya lepas.. lalu klik di tempat yang berkerut-kerut


menghilangkan kerut 5


Ayo .. hilangkan semua kerutannya.. kalo bisa zoom..


hasilnya :


menghilangkan kerut 6


sekarang lihat perbandingannya :


menghilangkan kerut 7


simple banget kan ? kalo tau caranya sih semua jadi simpel.. bener gak ?


sekarang liat wajah si mpok ini.. tadinya berjerawat akhirnya tanpa obat jerawat.. kulit nya jadi Muluuuuss lagi…


menghilangkan kerut 8


Selamat ber eksperimen..







Artikel Menghilangkan Kerutan di Wajah dengan Photoshop ini dipersembahkan oleh Tutorial Photoshop Gratis. Kunjungi Wallpaper, Font, Desktop Theme Gratis Pokoknya Serba Gratis. Baca Juga Cara Membuat Foto manjadi Vektor,

Pulau Derawan


Pulau Derawan terletak di Kepulauan Derawan, Kecamatan Derawan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur Satuan morfologi Pulau Derawan adalah dataran pantai bertopografi datar. Pantai pasir memiliki kemiringan lereng sekitar 7° - 11° dengan lebar 13,5 - 20 meter.

Di perairan sekitarnya terdapat taman laut dan terkenal sebagai wisata selam (diving) dengan kedalaman sekitar lima meter. Terdapat beraneka ragam biota laut di sini, diantaranya cumi-cumi (cuttlefish), lobster, ikan pipa (ghostpipe fish), gurita (bluering octopus), nudibranchs, kuda laut (seahorses), belut pita (ribbon eels) dan ikan skorpion (scorpionfishes).

Pada batu karang di kedalaman sepuluh meter, terdapat karang yang dikenal sebagai "Blue Trigger Wall" karena pada karang dengan panjang 18 meter tersebut banyak terdapat ikan trigger (red-toothed trigger fishes).


sedikit foto-foto di kepulawan derawan....

sun set di pinggir pantai





penyu yang berkeliaran jinak di sekitar pulau




gambaran di skeliling pulau..

Kamis, 06 Mei 2010

Politik Kebijakan ”Pemekaran Daerah”

Salah satu dinamika pemerintahan yang paling unik dari kasus Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini adalah kebijakan pemekaran daerah. Istilah pemekaran tidak menunjukkan perluasan teritori sebuah daerah, tetapi merujuk pada pemekaran daerah otonom. Dari sisi internal daerah justru luas daerah dan jumlah penduduk mengalami penurunan. Namun apabila di lihat dalam level nasional jumlah daerah otonom mengalami pemekaran.

Penambahan daerah otonom ini merupakan fenomena yang layak di kaji ulang. Sebab tren pemekaran atau penambahan daerah otonom seperti yang terjadi di Indonesia sekarang ini tidak mudah di temukan di negara lain. Tatkala contoh serupa dicari padanannya –ledakan pemekaran daerah- pernah terjadi di Eropa Timur pasca ambruknya Uni Soviet.

Dalam sejarahnya, Indonesia memang pernah mengalami pengurangan jumlah daerah otonom, yaitu pada tahun 1999 ketika Provinsi Timor Timur terlepas dari NKRI melalui proses referendum lokal. Saat itu provinsi di Indonesia mengalami pengurangan jumlah dari 27 menjadi 26. Namun perpindahan dari tahun 1999 ke tahun 2000 jumlah daerah otonom mengalami ledakan penambahan sebanyak 26 daerah otonom yaitu 1 Provinsi dan 25 Kabupaten/Kota. Sejak saat ini pemekaran daerah otonom seakan telah menjadi fenomena menarik dan terus terjadi hingga detik ini. Sehingga jumlah daerah otonom bertambah sebanyak 125 buah dari tahun 1998 sampai tahun 2003, kemudian peralihan dari tahun 2004 ke 2005 kebijakan pemekaran ini istirahat sejenak karena keperluan kepastian daerah dalam penyelenggaraan Pemilu nasional dan Pilkada langsung gelombang pertama.

Dinamika pemekaran daerah tersebut seperti terlihat dalam tabel di bawah ini:

Tabel 1

Dinamika Pemekaran Daerah

Tahun

Provinsi

Kabupaten/Kota

Pemekaran

Kab

Kota

Jumlah

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

27

26

29

29

30

31

33

256

269

269

269

288

349

349

72

73

73

85

88

91

91

328

341

342

354

376

440

440

-

26

1

12

22

64

-

Jumlah pemekaran

125

Sumber: Departemen Dalam Negeri

Lalu, pasca tahun 2004, terdapat peluang lagi untuk menuntut dan penetapan kebijakan pemekaran daerah. Provinsi Papua mengalami pemekaran dengan pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat (Irjabar), Provinsi Sulawesi Kepulauan (SULKEP), Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA), Provinsi Sulawesi Timur (SULTIM), Provinsi Luwu Raya Kabupaten Tanah Toraja (SULSEL), Kabupaten Simalungun (SUMUT), Kabupaten Lahat (SUMSEL), Kabupaten Bandung (JABAR), Kabupaten Mandau (RIAU), Kabupaten Pontianak (KALBAR), Kabupaten Tapanuli Selatan (menjadi kabupaten Angkot Sipirok dan Kabupaten Padang Lawas) dan sebagainya.

Melihat fenomena ini perlu ada pertanyaan serius, sebenarnya apa tujuan normatif pemekaran tersebut? Mengapa kecendrungan untuk melakukan pemekaran? Siapa yang diuntungkan dan di rugikan dengan adanya kebijakan ini? Apa implikasinya terhadap konsolidasi dan pendalaman demokrasi serta penyelanggaraan pemerintahan yang efektif? Kebijakan apa yang perlu diantisipasi ke depan.

Parameter dan Prosedur Pemekaran

Secara otonom kebijakan pemekaran daerah harus di letakkan dalam kerangka reformasi politik pemerintahan. Pelayanan publik dan pembangunan yang di jalankan di Indonesia belakangan ini, dalam konteks pembangunan politik kebijakan pemekaran harus sejalan dengan upaya untuk mempercepat konsolidasi politik menuju demokrasi substansial bukan prosedural. Dalam konteks fungsi pemerintahan. Sementara itu, dalam konteks fungsi pelayanan, pemekaran wilayah harus memberikan kontribusi secara positif bagi peningkatan kualitas pelayanan publik yang merata dan terjangkau bagi semua kelompok masyarakat. Selanjutnya, kebijakan pemekaran juga diharapkan memberikan akselerasi pembangunan ekonomi yang dinikmati secara merata oleh seluruh wilayah dan lapisan masyarakat Indonesia

Peluang pemekaran wilayah ini dibuka lebar-lebar oleh UU No.22/1999 dan penggantinya, UU No.32//2004. Walaupun dalam UU ini tidak disebutkan secara tegas tujuan tentang pemekaran daerah otonom, namun bisa di duga tujuannya tidak jauh berbeda dengan rumusan di atas. Hal ini terlihat dalam PP No.129/2000 yang menyatakan bahwa kebijakan pembentukan, penghapusan dan penggabungan harus diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melalui:

1. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat

2. Percepatan kehidupan pertumbuhan kehidupan demokrasi

3. Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah

4. Percepatan pengelolahan potensi daerah

5. Peningkatan keamanan dan ketertiban

6. Peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah

Rumusan tentang tujuan pemekaran ini mengindikasikan bahwa kebijakan pemekaran harus dilakukan hati-hati melalui pertimbangan dan proses yang matang. Sebagaimana dijelaskan dalam UU No.32/2004, Pasal 5 bahwa pembentukan daerah harus memenuhi syarat administratif untuk Provinsi meliputi adanya persetujuan DPRD Kabupaten/ Kota dan Bupati dan Walikota yang menjadi cakupan wilayah provinsi, persetujuan DPRD Provinsi induk dan Gubernur serta rekomendasi Mendagri. Syarat administratif untuk Kabupaten/ Kota meliputi adanya persetujuan DPRD Kabupaten/ Kota meliputi adanya persetujuan DPRD Kabupaten/ Kota dan Bupati/ Walikota yang bersangkutan, persetujuan DPRD Provinsi dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri.

Sementara itu syarat teknis meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang menjadi faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Sedangkan syarat fisik meliputi paling sedikit 5 (lima) Kabupaten/ Kota untuk Provinsi dan paling sedikit 5 (lima) Kecamatan untuk pembentukan kota lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana pemerintah.

Syarat-syarat inilah yang kemudian dijabarkan dalam PP No.129/2000 yang menjabarkan persyaratan pembentukan dan kriteria pemekaran, penghapusan, dan penggabungan daerah. Namun bisa diduga instrumentasi persyaratan dan kriteria pemekaran ini tidak mudah dilakukan. Elaborasi yang dikembangkan oleh PP ini menjadi terkesan sangat formal prosedural dan kehilangan spirit utama dalam meningkatkan perbaikan fungsi pemerintahan pertama kriteria pemekaran masih bertumpuh pada prasyarat fisik yang berusaha membaca potensi daerah masih terjebak pada kriteria fisik-statistik seperti sumber daya alam dan jumlah penduduk. Sangat sulit untuk mengembangkan kriteria yang mampu memprotek aktualisasi potensi tersebut. Kriteria sosial berupa dukungan masyarakat pun dalam banyak kasus bersifat tidak riil dan berupa mobilisasi masyarakat.

Selain memenuhi syarat dan kriteria pemekaran daerah otonom harus mengikut proses dasar. Dalam PP No.129/2000 pasal 16 pada bagian prosedur pembentukan, pemekaran, penghapusan, dan penggabungan daerah ditegaskan bahwa prosedur pemekaran daerah meliputi:

a. Adanya kemauan politik dari pemerintah daerah dan masyarakat yang bersangkutan.

b. Harus didukung oleh penelitian awal yang dilakukan oleh pemerintah daerah.

c. Usul pembentukan provinsi disampaikan kepada pemerintah c.q Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan disampaikan hasil penelitian daerah dan persetujuan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota yang berada dalam wilayah Provinsi dimaksud yang dituangkan dalam keputusan DPRD.

d. Usul pembentukan Kabupaten/ Kota disampaikan kepada pemerintah c.q Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah melalui Gubernur dengan dilampirkan hasil penelitian daerah dan persetujuan DPRD Kabupaten/ Kota serta persetujuan DPRD Provinsi yang dituangkan dalam keputusan DPRD

e. Dengan memperhatikan usulan Gubernur, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah memproses lebih lanjut dan dapat menugaskan tim untuk melakukan observasi ke daerah yang hasilnya menjadi bahan rekomendasi kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah.

f. Berdasarkan rekomendasi pada huruf e, ketua dewan pertimbangan otonomi daerah meminta tanggapan para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dan dapat menugaskan tim teknis Sekretariat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah ke daerah untuk melakukan penelitian lebih lanjut.

g. Para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah memberikan saran dan pendapat kepada ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah.

h. Berdasarkan saran dan pendapat dewan pertimbangan otonomi daerah usul pembentukan suatu daerah diputuskan dalam rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah

i. Apabila berdasarkan hasil keputusan rapat anggota dewan pertimbangan otonomi daerah menyetujui usul pembentukan daerah. Menteri dalam negeri dan otonomi daerah selaku ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah mengajukan usul pembentukan daerah tersebut beserta rancangan undang-undang pembentukan daerah kepada presiden

j. Apabila presiden telah menyetujui usul yang dimaksud dalam rancangan UU pembentukan daerah, maka selanjutnya disampaikan kepada DPR RI untuk mendapat persetujuan

Ketentuan ini mengindikasikan bahwa prosedur yang harus ditempuh untuk menetapkan pemekaran daerah harus melalui prosedur yang panjang. Menuntut akurasi persyaratan teknis substansif seperti kelayakan pembangunan ekonomi, pelayanan publik, dan lain-lain. Namun kualitas pertimbangan substansif sendiri itu tidak bisa dikawal secara penuh oleh UU ini. Sebagai misal persyaratan adanya penelitian yang dilakukan oleh Pemda dimaksudkan untuk menerapkan pertimbangan ini akan sangat tergantung pada kualitas dan akurasi yang dilakukan oleh Pemda tersebut.

Akibatnya, kebijakan pemekaran lebih menjadi proses politis daripada proses teknokrasi. Sehingga beberapa kepentingan substansif seperti peningkatan pelayanan masyarakat, efisiensi penyelenggaraan pemerintah dan dukungan terhadap pembangunan ekonomi mempunyai potensi besar untuk tidak diindahkan. Sementara itu kepentingan politik seperti representatif politik, pelebaran sumber daya politik dan sejenisnya cenderung dominan.

Potensi Penyimpangan Proses: Politik Uang, Politik Identitas dan Free Rider

Pada kebijakan pemekaran, publik tidak selalu diuntungkan, di satu sisi, pemekaran Daerah Otonom bisa berarti mendekatnya pemerintah selaku pelayan kepada masyarakat yang dilayani. Tetapi, di sisi lain pemekaran daerah otonom akan diikuti dengan pembentukan organisasi Pemda baru dengan segala infrastrukturnya yang tentu saja membutuhkan biaya. Ini berarti overhead cost, operational cost, dan cost yang lain dalam penyelenggaraan pemerintah juga akan meninggkat. Beban publik terhadap belanja operasional akan meningkat dan konsekuensinya alokasi belanja untuk pembangunan akan mengalami penurunan.

Selain itu, dalam beberapa dimensi pemekaran daerah otonom bisa merugikan institusi dalam kaitannya dalam kapasitas fiskal. Daerah induk harus kehilangan beberapa sumber keuangan yang pada pasca pemekaran yang beralih ke daerah hasil pemekaran. Sebagai daerah Otonom baru, daerah hasil pemekaran seringkali dibebani dengan pengembangan infrastruktur dasar pemerintahan seperti : gedung dan fasilitas dasar lainnya, yang kesemuanya perlu diadakan serentak dalam waktu yang bersamaan.

Namun yang tidak pernah dirugikan dalam kebijakan pemekaran adalah lapisan elit disemua komponen. Elit politisi akan meningkatkan pelebaran sumber daya politik berupa jabatan politik baru (seperti Kepala Daerah, Ketua dan Anggota DPRD) sebagai produk pembentukan daerah otonom daerah baru. Elit birokrasi juga memperoleh keuntungan dengan semakin terbukanya promosi baru, eselon baru, dan jabatan struktural baru di daerah otonom hasil pemekaran. Para pelaku bisnis juga memetik keuntungan dari sirkulasi uang yang meningkat sejalan dengan pengembangan aktifitas ekonomi seperti penyediaan infrastruktur fisik dan kebutuhan belanja lainnya. Bahkan organisasi civil society juga memperoleh arena baru dalam menjembatani relasi antara masyarakat dengan Negara ditingkat lokal.

Implikasi dari semua ini adalah potensi manipulasi proses yang dimaksudkan untuk memaksakan pemekaran. Kriteria normatif dan prosedur formal yang telah dirumuskan oleh peraturan perundang-undangan cenderung untuk dijalankan secara prosedural semata yang pada gilirannya merupakan kepentingan publik. Seluruh proses perumusan kebijakan pemekaran kemudian bergeser dari isu teknokratis substantif (melakukan analisis beberapa kebijakan pemekaran mensejahterakan masyarakat) tetapi beralih menjadi kontestasi kekuatan politik dan uang. Proses kebijakan pemekaran menjadi bisnis politik dan uang.

Berharap akan memperoleh representasi politik dan perhatian yang lebih banyak di masa depan, masyarakat setempat mudah untuk dimobilisasi ini berbasis pada sentimen etnisitas dan atau agama di daerah induk. Oleh karena itu, apabila tidak dikelola dengan baik proses pemekaran bisa mendorong konflik horizontal dalam masyarakat.

Dengan menganggap pemekaran sebagai investasi politik dan ekonomi terdapat beberapa pelaku politik dan ekonomi yang bersedia untuk mengalokasikan sumber daya anggaran, baik dana pemerintah maupun dana privat. Dana ini sangat dibutuhkan untuk memobilisasi dukungan dari berbagai pihak yang secara formal harus mendukung kebijakan pemekaran ini. Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas proses pembentukan provinsi baru harus di dukung oleh penelitian mendalam, memperoleh persetujuan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota yang berada dalam wilayah Provinsi dimaksud, ditanggapi oleh Menteri Dalam Negeri dan dilakukan penelitian. Kemudian dibawa ke dewan pertimbangan otonomi daerah dan dilakukan penelitian. Setelah itu, Mendagri dan DPOD mempersiapkan RUU pembentukan daerah dan menyampaikan kepada Presiden dan kemudian dibawa ke DPR RI untuk mendapatkan persetujuan. Satu saja rantai proses ini terputus rencana pemekaran daerah akan mengalami kegagalan.

Secara normatif proses yang sangat panjang ini dimaksudkan untuk mengembangkan ketelitian dalam penetapan kebijakan dengan mempertimbangkan berbagai dimensi dan lapisan kepentingan publik secara cermat. Namun peosedur yang panjang yang telah ditetapkan oleh peraturan perundangan ini bisa menghasilkan implikasi yang sebaliknya. Bukannya menjamin terlindunginya kepentingan publik, kebijakan pemekaran ini kemudian diselewengkan menjadi proses yang panjang yang menguras anggaran dan sumber daya ekonomi dan politik publik. Apabila money politics merupakan cara yang menggolkan rencana pemekaran ini maka berapa banyak uang harus dibelanjakan disetiap tahap yang masing-masing melibatkan banyak pelaku. Semua ini akan dibebankan pada daerah baru yang dibentuk oleh kebijakan pemekaran ini. Apabila pemekaran ini harus digolkan dengan memobilisasi politik maka proses yang tidak terhindarkan adalah terbentuknya atau konsolidasi organisasi-organisasi berbasis kewilayahan etnis atau agama dalam rangka membangun energi politik. Semua ini juga akan menjadi beban di daerah baru pasca pemekaran.

Dalam beberapa kasus kebijakan pemekaran memang menjadi ajang kontesasi politik internal antar kelompok politis berbasis etnis dan agama. Dalam Daerah Otonom dengan segmentasi etnis dan agama yang tegas, kontesasi politik berbasis etnis dan agama di daerah ini sangat tinggi. Hal ini sangat menyulitkan beberapa daerah tatkala tuntutan representasi politik bukan saja dituntut terselenggara di lembaga birokrasi. Oleh karena itu, melalui pemekaran representasi politik dalam pemerintahan yang sudah menjadi masyarakat homogen.

Pengelolaan Pasca Pemekaran

Dari elaborasi singkat yang dikemukakan di atas, ambisi untuk melakukan pemekaran bisa jadi merupakan ekspresi untuk membuat pemerintah lebih efektif dalam mendorong pembangunan ekonomi dan perbaikan pelayanan publik. Tetapi perbaikan pemerintahan ini sebenarnya bisa dilakukan tanpa melakukan pemekaran. Usulan pemekaran daerah kemudian lebih didorong untuk meningkatkan rekognisi politik dari kelompok-kelompok etnis dan agama yang ada di daerah. Melalui kebijakan pemekaran, kontestasi politik antar etnis di daerah tentu bisa diminimalisir dengan melakukan pembentukan daerah otonom berdasarkan regresi etnis dan agama.

Tatkala persoalan internal daerah bisa dikurangi, bisa muncul persoalan baru yaitu kontestasi antar agama dan etnis yang menyatu dalam hubungan antar daerah. Oleh karena itu, dalam kawasan daerah otonom yang mempunyai karakter seperti ini membutuhkan kerja sama antar daerah yang lebih kuat lagi bukan saja kerja sama ekonomi dan pelayanan publik tetapi juga kerja sama dalam dimensi kultural dengan cara ini bisa terjadi toleransi antar masyarakat daerah bertetangga yang diharapkan menjadi embrio bagi pertukaran kultural yang lebih intensif.

Pada saat pemekaran merupakan solusi yang tidak terhindarkan, mekanisme lain yang harus dikembangkan adalah manajemen transisi daerah otonom yang menerima dampak dari pemekaran ini harus dibantu dan difasilitasi agar tetap mampu menyelenggarakan pemerintahan, pelayanan dan pembangunan ekonomi secara baik. Pada umumnya daerah pemekaran menghadapi kendala anggaran yang sangat serius untuk menyediakan fasilitas dasar penyelenggaraan pemerintah. Tetapi juga ada kasus dimana daerah induk tiba-tiba kehilangan sumberdaya fiskal secara signifikan akibat berpindahnya sumber PAD ke daerah pemekaran. Tanpa manajemen transisi proses pemekaran ini akan senantiasa mengakibatkan pemburukan fungsi-fungsi pemerintahan yang merugikan masyarakat.

Semua ini membawa Implikasi pada agenda kebijakan yang panjang dalam memperbaiki kebijakan pemekaran. Pertama, diperlukan kriteria baru yang bukan saja menekankan pada proses politik yang panjang, tetapi juga pertimbangan teknokratis yang menghitung secara jeli implikasi pemekaran bagi masyarakat setempat dan nasional. Kedua, diperlukan inovasi manajemen dan kelembagaan didaerah hasil pemekaran yang difasilitasi oleh pemerintah nasional dan lembaga lainnya, sehingga inovasi baru penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baru bisa dikembangkan di daerah baru tersebut.

Pembangunan Politik di Negara berkembang

Analisis dalam kerangka Pembangunan Politik di negara-negara pasca kolonial yang pada umumnya cenderung non demokratis, dalam kerangka menciptakan State and nation Building yang kokoh. Dengan memadukan berbagai pendekatan/teori yang relevan termasuk didalamnya peranan militer, disertai berbagai contoh negara-negara yang terkait.

Pembangunan Politik (Political Development)
Pembangunan politik sering diartikan sebagai modernisasi politik yang dialami di Eropa (negara barat) dan selanjutnya di bagian-bagian dunia lain setelah dan sejak renaissance. Para pendukung teori modernisasi umumnya meyakini bahwa ilmu-ilmu sosial bersifat universal, dan karenanya pemahaman, analisis, perumusan dan pemecahan masalah suatu negara bisa diterapkan pada negara lain.
Jika modernisasi bisa dilakukan di negara-negara Barat, maka ia niscaya juga bisa diterapkan pada konteks negara non Barat, Keyakinan akan universalitas teori ini kemudian mendapatkan pembenaran ketika Jepang (negara Asia yang hancur lebur akibat perang) mampu dan sukses meniru model pembangunan yang diterapkan negara-negara Barat.
Selama lebih dari tiga dekade, teori modernisasi, yaitu teori yang mengatakan bahwa kemiskinan suatu negara berpangkal pada persoalan internal negara yang bersangkutan, dan karenanya solusi yang diperlukan adalah memoderenkan negara tersebut, menjadi pilihan utama untuk menjelaskan dan memproyeksikan pembangunan negara. Yang menurut pendapat Lucian Pye rumusan-rumusan tersebut bersifat etnosentris (pro Barat).
Munculnya negara-negara baru pasca Kolonial yang pada umumnya cenderung non demokratis ditandai dengan adanya pembatasan terhadap partisipasi politik masyarakat, karena apabila terjadi perluasan terhadap partisipasi politik masyarakat akan menyebabkan terjadinya gangguan terhadap stabilitas politik dan legitimasi kekuasaan yang dimiliki oleh negara.
Tumbuhnya peningkatan kesadaran sosial dan politik melalui aspirasi dan tuntutan secara menyolok akan menimbulkan gejolak-gejolak sosial dan jika keadaaan ini berlangsung lama akan menimbulkan anomie, hal ini menurut Samuel P. Huntington sangat berbahaya apabila terjadi pada negara-negara berkembang. Meningkatnya partisipasi politik masyarakat sebagai akibat langsung dari pertumbuhan ekonomi yang memudahkan akses terhadap pendidikan, memunculkan kesadaran politik yang tinggi.
Transformasi ini dapat dikatakan sebagai gejala pembangunan (development syndrome) ciri-ciri yang berkaitan dari modernisasi politik. Sindrome ini menurut Lucian Pye dan yang lain agak berbeda, tapi dapat dikatakan meliputi : 1. Sikap umum arah persamaan (equality) yang memungkinkan persamaan kesempatan berpartisipasi dalam politik dan bersaing mendapatkan jabatan pemerintahan, 2. Kapasitas (capacity) sistem politik merumuskan kebijakan dan pelaksanaannya, 3. Diferensiasi dan spesialisasi (Differenciation and specialization) fungsi politik tanpa mengorbankan integrasi secara menyeluruh, 4. Sekulerisasi proses politik, pemisahan politik dari tujuan dan pengaruh agama.
Perubahan-perubahan ini sering menimbulkan masalah-masalah dalam pembangunan, diantaranya adalah legitimasi sebagai persoalan pembangunan negara (state building) dan krisis identitas sebagai masalah pembangunan bangsa (nation building), masalah partisipasi dan distribusi politik (pembagian manfaat politik), penetrasi (pemerintahan efektif), dan integrasi (fungsi pemerintah).
Dengan timbulnya masalah-masalah pembangunan sebagai akibat dari modernisasi politik, pembangunan politik sering dilihat sebagai kapasitas sistem politik dalam menyelesaikan masalah. Pembangunan politik didefinisikan secara agak sempit sebagai meningkatnya diferensiasi dan spesialisasi struktur politik dan meningkatnya sekularisasi budaya politik. Pembangunan politik terjadi jika sistem politik berhasil mengatasi masalah tantangan pembangunan negara dan bangsa, distribusi dan lain-lain. Sehingga makna pembangunan adalah meningkatnya efektifitas dan efisiensi perilaku sistem politik dan kapabilitasnya, akan tetapi sistem politik tersebut harus memiliki sumber ekstarksi dan pengaturan yang cukup.

Disamping demokrasi perlu juga dipahami demokratisasi, yang menurut Huntington kini sudah memasuki gelombang ketiga. Gianfranco Pasquino mengatakan demokratisasi adalah proses dimana rezim-rezim otoriter beralih menjadi rezim-rezim demokratis. Pendapat senada juga dikemukakan oleh David Potter dan kawan-kawan yang mengatakan bahwa demokratisasi adalah suatu perubahan politik yang bergerak ke arah sistem politik yang demokratis. Pengertian-pengertian ini harus dibedakan secara analitis dari proses liberalisasi dan transisi. Liberalisasi hanyalah pelunakan rezim otoriter dalam operasi atau kerangka kerjanya. Prosesnya dipimpin oleh pemimpin otoriter itu sendiri. Liberalisasi boleh jadi merupakan langkah awal dari transisi menuju demokrasi.

Mobilisasi dan Partisipasi Politik
David Apter dalam konsep modernisasi, partisipasi politik masyarakat dimobilisasi demi penegakan penegakan legitimasi kekuasaan (the rulling elit), hal ini menjelaskan kasus pembangunan politik yang terjadi di Uganda dan Ghana. Jika kita kaitkan dengan konsep Huntington tentang Model negara Tahap I Borjuis dan otokrasi, Tahap II. Teknokrat dan populis, ternyata sistem feodalistik masih kuat melekat pada negara-negara baru tersebut. (pasca kolonial).
Mari kita lihat pada model tahap I.Model Otokrasi, yang memiliki banyak persamaan dengan masa pemerintahan Orde Baru.
Model Otokrasi, ditandai dengan adanya :
1. Kekuasaan dipusatkan.
2. Partisipasi politik golongan menengah ditindas (militer masuk mengambil peran).
3. Penanaman Modal Asing dan Pertumbuhan ekonomi meningkat.
4. Pemerataan sosial ekonomi meningkat (untuk memperoleh dukungan).
5. Adanya masalah land reform (golongan aristokrasi tradisional).
6. Stabilitas politik terjamin.
Akibatnya terjadi rekayasa partisipasi terhadap penguasa yang sedang berkuasa, secara makro pertumbuhan ekonomi meningkat, secara mikro tumbuhnya kapitalisme (kapitalisme semu) yang dapat membuat goyah pondasi perekonomian, terjadi tuntutan partisipasi politik di perluas akibat adanya kesadaran politik pada tingkatan masyarakat kelas rendah baik di kota ataupun desa, adanya pemanfaatan landreform yang membuat juga adanya tuntutan partisipasi politik. Adanya pengaruh eksternal, perlahan-lahan muncul civil society yang menjadi salah satu prasyarat bagi tumbuhnya demokrasi di sebuah negara. Jadi meskipun pengaruh modernisasi ditengarai banyak pro barat, tapi menjadi cikal bakal bagi tumbuhnya gerakan demokrasi di sebuah negara. Karena melalui demokrasi juga kita akan melihat pengaruh pada budaya politik. Yang menurut Almond dan Verba sebagai budaya politik parokial yang terjadi pada masyarakat tradisional. Mereka tidak tahu dan tidak mau terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik. Hal ini terjadi pada masyarakat yang belum mengalami proses modernisasi.
Pada budaya politik subyek mereka tahu tapi tidak mau terlibat, hal ini terjadi pada masyarakat yang tingkat pertumbuhan ekonominya sudah baik, partisipasi politik sangat rendah padahal tingkat pendidikan sudah tinggi, contohnya adalah negara maju yang secara umum sudah mapan sehingga partisipasi politik menjadi rendah.
Budaya politik partisipan, mereka tahu dan terlibat pada kegiatan-kegiatan politik, pada masa transisi sering terjadi karena kesadaran politik baru muncul, pertumbuhan ekonomi mulai meningkat, stabilitas politik masih dalam masa transisi. Hal ini dapat dilihat pada Indonesia pasca reformasi 1998. dimana partispasi politik tinggi, adanya penguatan civil society, partisipasi politik dalam pemilu cukup tinggi sebagai salah satu alat ukur perwujudan demokrasi yang tinggi.
Jika budaya politik sebagai orientasi subjek terhadap sistem politik sangat mempengaruhi partisipasi politik seseorang dan modernisasi dapat mengubah budaya politik seseorang maka hal tersebut merupakan proses yang multidimensional.

Pembangunan politik pada negara-negara baru ditentukan oleh aktor-aktor Pembangunan politik (Modernisasi Politik), dalam kerangka menciptakan State and nation Buliding yang kokoh operasi negara bangsa sangat dipengaruhi oleh :
1. Elit politik (Parlementaria)
2. Birokrasi
Birokrasi atas dasar Weber, birokrasi rasional akan dapat mendorong percepatan modernisasi berpegang teguh pada konsep hukum yang sekuler.
3. Militer
Jika kepemimpinan elit dan partai politik yang diorganisasi tidak berhasil memberikan kepemimpinan politik , maka satu-satunya kekuatan di negara berkembang yang dapat dan yang akan mengambil alih kekuasaan adalah militer. Kelompok lainnya seperti Mahasiswa dan buruh kurang memiliki organisasi yang luas dalam masyarakat untuk mengambil alih dan melaksanakan kekuasaan.
Sekali kekuasaan diambil alih oleh kaum militer, maka kan sulit untuk mengembalikan kekuasaan ketangan orang sipil. Mexico dapat disebut sebagai contoh dimana pemerintahan sipil dapat dibangun kembali, sekalipun pola kekuasaan militer sempat bertahan sampai beberapa puluh tahun.

State and Nation Building
Sebagian besar negara berkembang, terutama di Asia dan Afrika, menghadapi masalah-masalah state dan nation building terjalin erat dengan proses demokratisasi. Timur Tengah adalah contoh klasik. Demokrasi konsosional yang diterapkan di Libanon menjadi contoh untuk mengatasi disintegrasi. Mesir menjadi negara demokratis sekuler bertetangga dengan Libya yang otoritarian. Percobaan demokratisasi Irak kini masih mengalami kendala-kendal politik dan budaya yang serius karena kuatnya etno-nasionalisme. Analisa klasik Rupert Emerson pada 1960 mengenai nasionalisme pasca kolonial menyimpulkan bahwa nasionalisme muncul dari “gejolak dan perubahan sosial yang mendalam sifatnya, yang membongkar tatanan lama dalam masyarakat dan yang mempercepat proses mobilisasi sosial dan demokratisasi”. Seperti ditegaskannya, nasionalisme massa di negara-negara yang sedang berkembang merupakan pedang bermata dua: bisa menjadi kekuatan yang menggerakkan berbagai kelompok dan kepentingan sosial demi tujuan bersama membentuk kerangka politik yang handal bagi tindakan bersama, tetapi juga bisa memecah belah bila suatu kelompok digerakkan dengan mengorbankan kelompok lain.